Sejarah Ki Hajar Dewantara – Ki Hajar Dewantara yang terlahir pada tanggal 2 Mei 1889 disebut sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia. Pada hari lahirnya Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soeryaningrat dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hajar Dewantara (source: wikipedia) |
Beliau merupakan putra dari GPH Soerjaningrat dan cucu dari Pakualaman III, Ki Hajar Dewantara dibesarkan di lingkungan keraton Yogyakarta.
Ki Hajar Dewantara bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School), Sekolah Dasar pada zaman Belanda. Kemudian beliau melanjutkan sekolah di STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputra), merupakan sekolah dokter bagi pribumi di Batavia (sekarang Jakarta) tetapi tidak lulus karena sakit.
Ki Hajar Dewantara bekerja menjadi penulis di berbagai surat kabar terkenal pada waktu itu seperti: Kaoem Moeda, Midden Java, Poesara, Sedioutomo, De Expres, Oetoesan Hindia dan Tjahaja Timoer. Tulisannya terkenal tajam dengan semangat antikolonial.
Ki Hajar aktif sebagai seksi propoganda untuk menggugah dan mensosialisasikan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa sejak berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908.
Beliau juga aktif menjadi anggota organisasi Insulinde yang merupakan organisasi multietnik guna memperjuangkan pemerintahan sendiri di Hindia Belanda. Organisasi ini dipengaruhi oleh Ernest Douwes Dekker yang kemudian mendirikan Indiche Partij.
Tulisan dari Ki Hajar Dewantara yang paling terkenal adalah Als ik een Nederlander was (Seandainya aku seorang Belanda) dan dimuat di surat kabar De Expres milik Douwes Dekker pada tanggal 13 Juli 1913. Berikut ini beberapa kutipannya:
Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah keyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikitpun baginya.
Setelah menulis itu, beliau ditangkap dan akan diasingkan ke Pulau Bangka. Namun Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker memprotes hal tersebut dan pada akhirnya ketiga orang tersebut diasingkan ke Belanda pada tahun 1913. Ketiga tokoh ini dikenal dengan nama Tiga Serangkai.
Di Belanda, Ki Hajar Dewantara aktif menjadi anggota organisasi para pelajar yang berasal dari Indonesia yaitu Perhimpunan Indonesia (Indiche Vereeniging). Di organisasi inilah beliau merinris cita-citanya untuk memajukan kaum pribumi dengan belajar ilmu pendidikan.
Setelah kembali dari pengasingan dari Belanda pada tahun 1919, Ki Hajar Dewantara bergabung dengan sekolah yang dikelola oleh saudaranya. Pada tanggal 3 Juli 1922 beliau mendirikan sebuah Perguruan Nasional Taman Siswa (National Onderwijs Insitut Taman Siswa). Taman Siswa merupakan lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan kepada orang-orang pribumi pada waktu itu agar dapat memperoleh hak pendidikan layaknya orang berada dan orang-orang Belanda.
Ing Ngarsa Sun Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa,Tut Wuri Handayani
Itulah ajaran yang terkenal dari Pendiri Taman Siswa ini yang bermakna sebagai berikut:
1. Ing Ngarsa Sun Tulodho (Di depan menjadi teladan)
Semboyan ini bermakna ketika kita berada di garis depan atau sebagai pemimpin kita harus bisa menjadi teladan dan contoh yang baik bagi orang-orang yang berada di sekitar kita.
2. Ing Madya Mangun Karsa (Di tengah membangun semangat)
Semboyan ini bermakna ditengah kesibukan yang kita jalani kita harus bisa membangkitkan semangat untuk diri sendiri maupun untuk orang lain.
3. Tut Wuri Handayani (Di belakang memberi dorongan)
Semboyan ini bermakana kita harus bisa memberikan semangat dari belakang.
Ki Hajar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta pada tanggal 26 April 1959.
Sumber : https://www.sejarah.id/2017/05/ki-hajar-dewantara.html